Translate

Sabtu, 17 Januari 2015

Bait Cerita Dibalik Kantung Blezer (Part 1)



Bismillahirrahmanirrahim...
Jejak perjalanan hamba Alloh menuju satu kata, yang dibilang sukses.
Sukses, satu kata yang selalu terucap sejak aku duduk dibangku sekolah dasar sampai saat ini aku duduk diperguruan tinggi negeri sebuah kota kecil di ujung barat pulau jawa. Aku-pun belum paham betul apa itu sukses hakiki, yang jelas sejak SD jika ada yang bertanya “mau jadi apa aku ini?” aku selalu menjawab dengan entengnya “mau jadi orang yang sukses lah, biar bisa bawa ibu dan bapak keliling dunia”.
Namun sampai saat ini aku tak bisa mendefinisikan sukses seperti apa yang akan ku kejar? Jangankan untuk memahami makna sukses itu, terkadang untuk mengenali diri sendiri saja rasanya sangat sulit. Ku coba bercermin agar mengetahui diri ini, namun sulit sekali bercermin diantara kerumunan banyak orang. Yang mana pantulan dari bayang diriku? Apakah yang ini? Ahh.. sudahlah, semoga dengan berjalannya waktu, fokus pada cermin yang kugunakan untuk melihat seperti apa diri ini semakin tajam dan terfokus.
Kucoba berlari mengejar sukses itu walau belum kukenal dengan jelas siapa SUKSES itu? Apakah sukses itu akan menjadi teman sejatiku suatu saat nanti? Ataukah tidak akan kudapatkan sampai kapanpun. Waktu berputar begitu cepat, kupahami semua yang ada, semua yang selalu kusebut itulah sebuah kesuksesan. Walau pada akhirnya kutemui jalan buntu untuk mengenal lebih jauh apa itu sukses.
Apakah yang mengendarai mobil mewah, itukah sukses? Apakah yang memiliki rumah besar nanmewah, itukah sukses? Apakah yang memiliki usaha dengan omset penghasilan yang besar, itukah sukses? Apakah mempunyai pekerjaan dengan jabatan tinggi dan upah besar, itukah sukses? Tapi pemikiran itu tak cukup sampai disini, aku mulai merenung.. apakah orang yang memakan hak orang lain itu sukses? Apakah orang yang duduk dibarisan anggota dewan perwakilan rakyat itu sukses? Tanpa kacamata mungkin dapat kunilai, semua itu adalah kesuksesan. Karena aku yakin, untuk memperoleh itu semua, mereka tak hanya duduk diam menunggu takdir itu datang dan berteman akrab dengan mereka.
Ada lagi sebuah fenomena, dimana aku melihat seseorang yang bermain tipu-menipu, entah itu dalam usaha penjualan atau sejenis bisnis multi level marketing. Mereka menjuluki diri mereka sukses, entah dari apanya tapi aku tak melihat sedikitpun indikasi sukses ada pada diri mereka. Berbeda dari kacamata lain yang kugunakan untuk melihat sebuah kesuksesan, saat aku berpergian seorang diri menggunakan angkutan umum, bus antar kota dan provinsi, banyak sekali pedagang makanan kecil yang memanggul dagangan mereka dan berlari mengejar bus. Kulihat tubuhnya yang mulai menua, lusuh, dan terlihat lelah. Tapi semangat mereka untuk menawarkan dan menjajakan jualan mereka sampai penumpang bus tersebut bersedia untuk membelinya. Uang 2ribu rupiah yang mereka terima dengan sumringah itu kulihat jelas betapa bahagianya mereka saat berhasil bersusah payah untuk mendapatkan nominal uang yang sering ku sepelekan jumlahnya itu. Saat itu aku berfikir, orang seperti mereka juga bisa aku sebut sukses.
Tapi, jika aku bisa menyebut pedagang kelontong tersebut sukses, mengapa aku tidak mampu menyebut diriku sendiri sukses? Sedang aku pernah mengalami sama persis apa yang pedagang kelontong itu lakukan. Berlari ditengah panas demi terjualnya barang yang memang harus dijual. Flashback ke masa dimana langkah ini dimulai, teringat sepotong kata yg diucapkan guru-ku di STM dulu. “Jika kalian lulus dari ujian nasional ini, sebenarnya ujian hidup yang sesungguhnya telah menunggu didepan mata kalian”. Dari kalimat itu aku mulai merenung, detik-detik yang seharusnya kugunakan untuk fokus menempuh ujian nasional tersita untuk memikirkan apa yang akan kulakukan selepas UN nanti? Kegalauan semakin berat pada hari ke-empat UN. Aktivitas apa yang akan ku geluti selepas UN nanti? Ternyata ucapan guru-ku sangat benar, ujian sesungguhnya akan kuhadapi.
Rasa galau belum berhenti sampai disitu,rasa galau ini ternyata menelurkan anak. Selang beberapa hari setelah UN turunlah sebuah kabar dimana aku gagal lolos seleksi pendidikan gratis di salahsatu perguruan tinggi di bandung. Yang ada pada pikiran saat itu hanyalah kesedihan, mau jadi apa aku ini? Langkah yang kupilih untuk kuliah ternyata berbenturan dengan takdir Alloh, ingin kulewat langkah ini dijalan yang lain untuk mencari pekerjaan ternyata usia-ku belum mencukupi untuk memperoleh pekerjaan.
Tidur yang kulewati setiap malam mulai tidak nyaman, hingga keesokan paginya dengan modal nekat aku menyiapkan berkas untuk mendaftar perguruan tinggi, setelah melakukan test dan akhirnya aku lolos disebuah program studi fakultas teknik ternyata kulihat rincian biaya yang tidak sedikit. Cukup berat untuk ku gantungkan pada orangtuaku. Ku kira selepas aku lolos masuk perguruan tinggi ini rasa galau ini akan menghilang. Ternyata tidak, galau yang kurasa semakin berat. Aku merasa bagaikan orang yang kecil diantara keramaian para raksasa. Apakah aku tega membebani orangtua ku dengan biaya sebesar itu? Untuk sampai lulus STM 3tahunpun, aku rasa mereka sudah bersusah payah untuk mencapai titik ini.
Otakku mulai berpikir lebih keras dari biasanya, disaat sulit itu aku ingat ucapan wali kelasku saat ia berkuliah dulu, ia daftar disalah satu perguruan tinggi di Bandung, ia bilang jika ia gagal ia akan sedih, tapi jika ia lolos ia juga sedih, karena bingung harus mendapatkan biaya dari mana. Tapi ia menyambung ceritanya itu dengan kalimat yang sampai saat ini sangat aku percayai, “Alloh memberikan rezeki itu gak akan setengah-setengah, kalo Alloh mengizinkan lolos perguruan tinggi, maka dari jalan manapun akan ada rezeki untuk membiayainya, rezeki Alloh itu sepaket, gak mungkin setengah-setengah”.
Oke, aku percaya teori itu. Pasti Alloh akan memberi  jalan bagi siapapun yang mau berusaha. Aku pasti bisa melunasi biaya daftar ulang study-ku itu tanpa harus memberatkan orang tuaku lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar