Bismillahirrahmanirrahim...
Jejak perjalanan hamba Alloh menuju satu kata, yang dibilang
sukses.
Sukses, satu
kata yang selalu terucap sejak aku duduk dibangku sekolah dasar sampai saat ini
aku duduk diperguruan tinggi negeri sebuah kota kecil di ujung barat pulau
jawa. Aku-pun belum paham betul apa itu sukses hakiki, yang jelas sejak SD jika
ada yang bertanya “mau jadi apa aku ini?” aku selalu menjawab dengan entengnya
“mau jadi orang yang sukses lah, biar bisa bawa ibu dan bapak keliling dunia”.
Namun sampai
saat ini aku tak bisa mendefinisikan sukses seperti apa yang akan ku kejar?
Jangankan untuk memahami makna sukses itu, terkadang untuk mengenali diri
sendiri saja rasanya sangat sulit. Ku coba bercermin agar mengetahui diri ini,
namun sulit sekali bercermin diantara kerumunan banyak orang. Yang mana
pantulan dari bayang diriku? Apakah yang ini? Ahh.. sudahlah, semoga dengan
berjalannya waktu, fokus pada cermin yang kugunakan untuk melihat seperti apa
diri ini semakin tajam dan terfokus.
Kucoba berlari
mengejar sukses itu walau belum kukenal dengan jelas siapa SUKSES itu? Apakah
sukses itu akan menjadi teman sejatiku suatu saat nanti? Ataukah tidak akan
kudapatkan sampai kapanpun. Waktu berputar begitu cepat, kupahami semua yang
ada, semua yang selalu kusebut itulah sebuah kesuksesan. Walau pada akhirnya
kutemui jalan buntu untuk mengenal lebih jauh apa itu sukses.
Apakah yang
mengendarai mobil mewah, itukah sukses? Apakah yang memiliki rumah besar
nanmewah, itukah sukses? Apakah yang memiliki usaha dengan omset penghasilan
yang besar, itukah sukses? Apakah mempunyai pekerjaan dengan jabatan tinggi dan
upah besar, itukah sukses? Tapi pemikiran itu tak cukup sampai disini, aku
mulai merenung.. apakah orang yang memakan hak orang lain itu sukses? Apakah
orang yang duduk dibarisan anggota dewan perwakilan rakyat itu sukses? Tanpa
kacamata mungkin dapat kunilai, semua itu adalah kesuksesan. Karena aku yakin,
untuk memperoleh itu semua, mereka tak hanya duduk diam menunggu takdir itu
datang dan berteman akrab dengan mereka.
Ada lagi
sebuah fenomena, dimana aku melihat seseorang yang bermain tipu-menipu, entah
itu dalam usaha penjualan atau sejenis bisnis multi level marketing. Mereka
menjuluki diri mereka sukses, entah dari apanya tapi aku tak melihat sedikitpun
indikasi sukses ada pada diri mereka. Berbeda dari kacamata lain yang kugunakan
untuk melihat sebuah kesuksesan, saat aku berpergian seorang diri menggunakan
angkutan umum, bus antar kota dan provinsi, banyak sekali pedagang makanan
kecil yang memanggul dagangan mereka dan berlari mengejar bus. Kulihat tubuhnya
yang mulai menua, lusuh, dan terlihat lelah. Tapi semangat mereka untuk
menawarkan dan menjajakan jualan mereka sampai penumpang bus tersebut bersedia
untuk membelinya. Uang 2ribu rupiah yang mereka terima dengan sumringah itu
kulihat jelas betapa bahagianya mereka saat berhasil bersusah payah untuk mendapatkan
nominal uang yang sering ku sepelekan jumlahnya itu. Saat itu aku berfikir,
orang seperti mereka juga bisa aku sebut sukses.
Tapi, jika aku
bisa menyebut pedagang kelontong tersebut sukses, mengapa aku tidak mampu
menyebut diriku sendiri sukses? Sedang aku pernah mengalami sama persis apa
yang pedagang kelontong itu lakukan. Berlari ditengah panas demi terjualnya
barang yang memang harus dijual. Flashback ke masa dimana langkah ini dimulai,
teringat sepotong kata yg diucapkan guru-ku di STM dulu. “Jika kalian lulus
dari ujian nasional ini, sebenarnya ujian hidup yang sesungguhnya telah
menunggu didepan mata kalian”. Dari kalimat itu aku mulai merenung, detik-detik
yang seharusnya kugunakan untuk fokus menempuh ujian nasional tersita untuk
memikirkan apa yang akan kulakukan selepas UN nanti? Kegalauan semakin berat
pada hari ke-empat UN. Aktivitas apa yang akan ku geluti selepas UN nanti?
Ternyata ucapan guru-ku sangat benar, ujian sesungguhnya akan kuhadapi.
Rasa galau
belum berhenti sampai disitu,rasa galau ini ternyata menelurkan anak. Selang
beberapa hari setelah UN turunlah sebuah kabar dimana aku gagal lolos seleksi
pendidikan gratis di salahsatu perguruan tinggi di bandung. Yang ada pada
pikiran saat itu hanyalah kesedihan, mau jadi apa aku ini? Langkah yang kupilih
untuk kuliah ternyata berbenturan dengan takdir Alloh, ingin kulewat langkah
ini dijalan yang lain untuk mencari pekerjaan ternyata usia-ku belum mencukupi
untuk memperoleh pekerjaan.
Tidur yang
kulewati setiap malam mulai tidak nyaman, hingga keesokan paginya dengan modal
nekat aku menyiapkan berkas untuk mendaftar perguruan tinggi, setelah melakukan
test dan akhirnya aku lolos disebuah program studi fakultas teknik ternyata
kulihat rincian biaya yang tidak sedikit. Cukup berat untuk ku gantungkan pada
orangtuaku. Ku kira selepas aku lolos masuk perguruan tinggi ini rasa galau ini
akan menghilang. Ternyata tidak, galau yang kurasa semakin berat. Aku merasa
bagaikan orang yang kecil diantara keramaian para raksasa. Apakah aku tega
membebani orangtua ku dengan biaya sebesar itu? Untuk sampai lulus STM
3tahunpun, aku rasa mereka sudah bersusah payah untuk mencapai titik ini.
Otakku mulai
berpikir lebih keras dari biasanya, disaat sulit itu aku ingat ucapan wali
kelasku saat ia berkuliah dulu, ia daftar disalah satu perguruan tinggi di
Bandung, ia bilang jika ia gagal ia akan sedih, tapi jika ia lolos ia juga
sedih, karena bingung harus mendapatkan biaya dari mana. Tapi ia menyambung
ceritanya itu dengan kalimat yang sampai saat ini sangat aku percayai, “Alloh
memberikan rezeki itu gak akan setengah-setengah, kalo Alloh mengizinkan lolos
perguruan tinggi, maka dari jalan manapun akan ada rezeki untuk membiayainya,
rezeki Alloh itu sepaket, gak mungkin setengah-setengah”.
Oke, aku percaya
teori itu. Pasti Alloh akan memberi jalan bagi siapapun yang mau berusaha. Aku
pasti bisa melunasi biaya daftar ulang study-ku itu tanpa harus memberatkan
orang tuaku lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar